Advertisement
MENUNAIKAN ibadah haji tentu tidak mudah. Selain harus siap mental, mereka yang pergi haji juga butuh biaya besar. Tapi bagi yang kaya, mungkin persoalan biaya bukan hal yang berat. Tapi bagimana dengan mereka yang kondisi ekonominya menengah ke bawah. Mereka kadang harus bekerja keras, banting tulang selama puluhan tahun untuk menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka untuk ditabung agar kelak impian mereka untuk naik haji bisa tercapai.Menjalankan ibadah haji merupakan rukun Islam kelima. Setiap yang muslim pasti memiliki harapan besar mendatangi rumah suci Allah itu. Baik yang kaya, maupun orang miskin. Semua berharap dapat menyempurnakan keimanan mereka sebagai orang muslim.
Hal seperti ini dilakukan Amaq Mi’in yang merupakan seorang tukang sapu di Pasar Paok Motong. Pria lanjut usia yang sudah berumur 87 tahun tersebut akhirnya bisa tersenyum lebar, ketika impiannya ingin menunaikan ibadah haji bisa dikabulkan sang ilahi. Perjuangan panjang, harus dilalui Amaq Mi’in selama puluhan tahun, hingga impian untuk bisa melihat tanah suci tercapai.
Perjalanan Amaq Mi’in bisa naik haji punya cerita panjang. Keinginan untuk bisa haji sudah terbayang dalam pikiran Amaq Mi’in ini sejak dirinya mulai membina rumah tangga dengan istirnya Inak Murni. Tapi keadaan yang tidak memungkinkan, apalagi dia hanyalah seorang buruh sapu di Pasar Paok Motong, dengan penghasilan tak seberapa. Belum lagi beban hidupnya untuk menafkahi anak dan istirnya yang harus dipikul. Membuat harapan ingin segera naik haji terus dia pendam.
Dengan kedaan seperti itu, Amaq Mi,in tak mau patah semangat. Keterbatasan ekonomi keluarganya, membuat dia terus berpacu melawan waktu. Siang dan malam, sebagian besar sisa hidupnya dihabiskan ditengah pasar Paok Motong.Berbagai profesi digeluti, selain buruh sapu, kadang dia lembur menjaga pasar tersebut diwaktu malam.
“Saya sudah 50 tahun menikah sama bapak (Amaq Mi’in). Sebelum kami menikah, dia sudah menjadi buruh sapu di pasar,” tutur Murni, sang isteri.
Diceritakan, sejak awal membina rumah tangga, disaat itu dia sudah mendegar curhatan suaminya yang ingin naik haji. Tapi selaku isteri yang tau akan keterbatasan suaminya, dia hanya bisa mendoakan saja agar niat baik suaminya dikabulkan sang Ilahi. Sebagai orang dekat Amaq Mi’in, Inak Murni pun menceritakan bagaimana perjuangan keras suaminya itu mengumpulkan ongkos haji.
Menurutnya, sejak 40 tahun lalu suaminya sedikit demi sedikit mulai menyisihkan penghasilan untuk ditabung. Jumlah penghasilan yang ditabung tak menentu. Namun sebagai istri, dia tak pernah menuntut banyak. Setiap ada penghasilan, sang suami kadang tidak memberikannya uang belanja.
Tapi dia merasa cukup bahagia, melihat suaminya bisa menabung sendiri dari penghasilannya sebagai buruh sapu untuk biaya haji. “Ketika diberikan rezeki sama orang, dia simpan sendiri. Berapa diberikan, dia tabung langsung tidak berani dimakan,” ungkapnya.
Ongkos haji suaminya, sama sekali tidak pernah dibantu keluarga. Suaminya juga tidak mau menjadi beban bagi keluarganya. Saking besar keinginan bisa naik haji, membuat Amaq Mi’in tidak berani beli sandal untuk dipakai. “Saya suruh beli sandal, dia bilang tidak. Setiap ada uang selalu dimasukkan ke dalam tabungannya,” tutur Murni.
Sebagai istri, dia mengaku sangat terharu melihat perjuangan suaminya ini. Tapi sekarang, dia mengaku bersyukur, karena niat baik suaminya akhirnya dikabulkan sang Ilahi ‘’ Saya bangga sekali, perjuangan keras suami saya akhirnya bisa naik haji dengan menggunakan tabungannya,” tutur Murni.
Sementara Muh. Mulyadi, menantu Amaq Mi’in mengaku sebagai memantu mereka sama sekali tidak menyangka kalau mertuanya bisa naik haji. Bahkan Amaq Mi’in katanya, sempat dicemooh anaknya ketika menanyakan pada mereka berapa ongkos haji. “Kita dipanggil, saat itu bapak bertanya, berapa ongkos naik haji? Kami kira bapak saat itu gila,” tuturnya.
Cemoohan anaknya itu dibuktikan Amaq Mi’in dengan memperlihatkan uang hasil tabungannya selama 40 tahun. Disanalah anak-anak Amaq Mi’in tercengang, dan sangat terharu ketika melihat buntalan uang tabungan yang diperlihatkan ke mereka. “Kita kaget pas diperlihatkan uang sama bapak. Soalnya kita tidak menyangka bapak punya uang tabungan,” lanjut Mulyadi.
Menurutnya, mereka sama sekali tidak pernah tau tabungan bapaknya itu. Maka tak heran, ketika ayahnya ini memperlihatkan tabungannya, mereka merasa haru bercampur bahagia, melihat perjaungan keras ayahnya. “Bapak seorang yang tidak mau bebani anak-anaknya, meski anak-anaknya sudah besar,” tuturnya.
Amaq Mi,in sendiri pergi ke Mekkah melalui KBIH Anjani, dia berangkat pada kloter pertama untuk CJH Lotim beberapa waktu lalu. Para keluarga berniat, ketika Amaq Mi’in sudah pulang dari tanah suci. Mereka akan meminta ayahnya untuk tidak lagi bekerja sebagai buruh di Pasar Paok Motong. “Biar saya yang lanjutkan profesi bapak. Bapak sudah tua, sudah jadi Haji ,” (mediainformasiislam)
0 komentar:
Posting Komentar